Tulisan ini, sebenarnya terinsiprasi saat saya beberapa kali menemukan
pengalaman yang unik. JALANAN. Ya, jalanan banyak sekali menceritakan banyak
hal. Sebagai pengguna jasa angkot, bis, dan kereta. Banyak saya temui kejadian.
Termasuk saat pengalaman saya ketemu ibu-ibu dan seorang nenek-nenek di sebuah
kereta.
Pertama, Seoran ibu, berpakaian apa adanya, sendal jepit, dan membawa
tentengan plastik, duduk disamping saya. Awalnya, dia membuka obrolan,
“Turun dimana neng?”
“Turun dimana neng?”
Setelah saya jawab, tiba-tiba ia cerita
tentang kehidupannya. Tentang anaknya, saudaranya, dan berlanjut ke tempat ia
bekerja. Dari ceritanya bisa disimpulin, kehidupannya sangat berat. Di usianya
yang bisa dibilang gak muda lagi, dia masih harus berjuang, agar ia bisa
bertahan hidup. Dia Cuma punya anak satu-satunya, sudah menikah, dan punya satu
orang anak. Beberapa waktu lalu, anaknya dan menantunya kecelakaan dan
meninggal di tempat. Sekarang cucu satu-satunya ini harus tinggal bersama ibu
ini.
Inget-inget tentang segala bentuk kejahilan kriminal di jalanan, Saya gak
setuju kalo Ibu ini akan berniat jahat. Buktinya, sampai kami turun distasiun
yang sama pun, kami berpisah dengan baik. *Haiiss... kaya hubungan* #eh.
Setelah itu, saya gak pernah liat ibu itu lagi. Kalaupun harus mengingat
wajahnya, saya gak inget. Karena selama saya berbincang dengan ibu ini, jarang
saya menatap wajahnya.
![]() |
Ilustrasi di dalam kereta |
Kedua, saya ketemu seorang
nenek-nenek di stasiun Manggarai. Tempat saya transit kereta, dari Bekasi ke
Tanah Abang. Saat menunggu kereta arah Tanah Abang, saya duduk di suatu peron.
Sambil cek Handphone, sesekali agak galau plus cemas karna udah hampir jam 9,
keretanya belum dateng. Tiba-tiba, ada nenek-nenek yang menggunakan pakaian
terusan seperti gamis, tas hitam, dan kerudung khas nenek, jaman dulu. menghampiri
saya,
“Neng, ini ke Tanah Abang yah?”
“Iyah, Nek”
Sambil tetap berdiri, “Saya sedih! Saya diusir sama anak saya! Sedih! Sedih! Sedih, Neng!!”
*langsung pergi*
“Neng, ini ke Tanah Abang yah?”
“Iyah, Nek”
Sambil tetap berdiri, “Saya sedih! Saya diusir sama anak saya! Sedih! Sedih! Sedih, Neng!!”
*langsung pergi*
“..........................”
Cengok, heran, bingung, kepikiran. Nenek ini gak ngizinin saya buat ngerespon ucapannya satu kata pun. Kenapa langsung pergi? Kenapa tiba-tiba ngomong gitu? Klo nenek mau cerita, kenapa gak ngizinin saya buat ngerespon omongannya? *bingung*
Masih banyak sebenernya kisah aneh yang saya temuin. Tapi dua sosok diatas yang
paling saya ingat sampai sekarang. Dua
sosok ini, sepertinya kehilangan pihak yang bisa ia ajak cerita, yang bisa ia
curahkan segala keluh kesahnya. Kehilangan. Iyah, mereka kehilangan putra
putrinya yang seharusnya bisa memeluknya, mendengarkan curahannya, dan
melindunginya.
Masih inget sekali, bagaimana saat ibu saya sendiri sedang
cerita. Kesal, sedih, senang, semuanya bisa ia curahkan leluasa kepada saya.
Bedanya mama (sebutan ibu kandung saya) dengan dua sosok tadi, mama masih punya
kami, kelima anaknya yang selalu bersamanya. Masih punya papa (ayah kandung
saya) yang juga kita bisa berbincang banyak hal dengannya.
![]() |
Mama dan cucu ke-8 :) |
![]() |
keluarga Caniago, Aku masih TK lho :) |
Sebagai anak terakhir dan satu-satunya yang belum menikah, masih berasa sekali mereka membutuhkan sosok anak yang dekat dengannya, mendengarkan apa yang ingin mereka katakan, memahami setiap keyakinan mereka tentang sesuatu.
Saat mereka tua, bahkan bertambah tua. Mereka hanya berharap anaknya tetap disampingnya, tetap mendengarkannya, dan tetap memahami keinginannya.
0 comments:
Post a Comment